Tuesday, October 25, 2005

DIRI



Oleh: Bernadette Roberts
Diterjemahkan oleh: Hudoyo Hupudio

Metode yang lazim dipakai untuk mempelajari diri adalah dengan membandingkannya dengan apa yang kolektif, yang lain, bawah-sadar, atau apa pun yang dianggap bukan-diri. Namun, pendekatan saya untuk mempelajari ini adalah melalui jalan lain. Dari perjalanan spiritual saya, saya dapat mengetahui hakikat sesungguhnya dari diri melalui ketiadaannya, atau tanpa-diri; dengan kata lain, saya belajar tentang apa yang dulu ada (‘what was’ = diri) ketika saya belajar tentang apa yang sekarang Ada (‘what Is’ = tanpa-diri). Meskipun setiap metode pembelajaran adalah melalui satu dan lain cara relatif, kajian tentang diri secara relatif terhadap yang bukan-diri menghasilkan sekumpulan pencerahan, pengalaman dan kesimpulan yang berbeda dengan apabila diri diketahui secara relatif terhadap ketiadaannya atau tanpa-diri. Dengan sendirinya saya hanya berkepentingan dengan cara yang kedua.
Karena pendekatan yang khusus ini, saya harus mengesampingkan teori-teori, spekulasi-spekulasi psikologis dan metode-metode yang lazim untuk mempelajari diri, terutama apabila semua itu mulai dengan asumsi bahwa diri adalah suatu entitas yang permanen, suatu bagian yang permanen dan tak terhapuskan dari hakikat manusia, sedangkan titik tolak saya adalah realisasi mendadak bahwa hal itu tidak demikian. Saya rasa perlu untuk mengemukakan perspektif yang berbeda itu, oleh karena apa yang harus saya katakan mungkin tidak dapat dipahami dan tidak dapat diterima oleh mereka yang mengambil jalan tradisional. Pada gilirannya, saya harus mengakui, bahwa saya tidak pernah bisa memahami pendekatan atau ikhtisar jiwa yang analitis; kegagalannya mengenali Tuhan (bukan diri) sebagai pusat yang sejati dari keberadaan membuat pendekatan seperti itu asing dan tak dapat saya pahami.
Saya rasa aman untuk mulai dengan mengatakan bahwa tanpa daya refleksif batin (daya merenung) untuk berputar kepada dirinya sendiri, tidak akan ada si pemikir dari pikiran, tidak ada si pelaku dari perbuatan, tidak ada si perasa dari perasaan, dan dengan demikian tidak ada apa yang disebut diri. Di dalam tindakan otonom berputar kepada diri sendiri, hal pertama yang terlihat dan diketahui oleh batin adalah dirinya sendiri, dan tanpa tindakan refleksif ini, tidak ada cara bagi batin untuk mengetahui dirinya sendiri. Berkat mekanisme refleksif ini, maka batin hanya dapat mengetahui dirinya sendiri sebagai obyek bagi dirinya sendiri, dan dengan demikian, pada tataran kesadaran (consciousness), subyek ADALAH obyek. Obyek yang sesungguhnya dari kesadaran (consciousness) bukanlah obyek-obyek indra--sesuatu yang secara visual dapat kita lihat, dengar atau raba--alih-alih, obyek sesungguhnya dari kesadaran adalah dan hanyalah dirinya sendiri. Ini berarti bahwa apa diri atau subyek itu, adalah batin yang mengetahui dirinya sendiri sebagai obyek bagi dirinya sendiri, dan cara tahu "subyek-obyek" ini adalah hakikat sesungguhnya dari kesadaran.
Tetapi diri-yang-tahu hanyalah salah satu dari kedua dimensi pengalaman yang membentuk keseluruhan kesadaran. Dimensi yang lain adalah diri-yang-merasa, dan kita akan membahas tentang itu kelak. Adalah penting untuk tidak mencampuradukkan hakikat kesadaran dan hakikat sistem indrawi. Sementara mekanisme refleksif memungkinkan batin untuk memandang ke dalam dan menjadi sadar-diri (self-conscious), sistem indrawi hanya memandang keluar untuk memberikan respons terhadap lingkungan. Perbedaan antara sistem indrawi dan sistem kesadaran adalah sesungguhnya perbedaan antara binatang dan manusia. Namun, timbul masalah apabila kita gagal membedakan obyek kesadaran yang langsung--yakni diri—dari obyek-obyek indra di dalam lingkungan--yakni apa yang secara visual kita lihat, dengar dan raba. Alasan mengapa kita mengacaukan obyek yang satu dengan obyek yang lain ialah karena semua data indrawi yang masuk kita saring melalui mekanisme refleksif dari batin, dan dengan demikian setiap obyek indrawi yang masuk ke dalam batin membawa cap subyektif, cap mana bukanlah obyek indrawi itu, melainkan subyek itu sendiri.
Jadi masalahnya ialah selama mekanisme refleksif masih berfungsi, kita mungkin tidak dapat memisahkan sepenuhnya obyek-obyek indrawi dari diri kita (artinya, dari cap subyektif). Hanya sesudah berakhirnya secara permanen mekanisme refleksif ini, pemisahan itu menjadi otomatis, dan perbedaan antara kedua sistem itu--kesadaran dan indra--menjadi jelas dan gamblang. Namun, belajar hidup hanya dengan indra saja, tanpa kesadaran atau diri, memerlukan proses aklimatisasi (penyesuaian) yang sulit. Sebuah proses yang bahkan saya kategorikan sebagai pencapaian yang tak terkirakan. Pengalaman yang mengawali peristiwa-peristiwa di dalam buku ini [“The Experience of No-Self”] adalah berakhirnya atau menutupnya secara menetap mekanisme refleksif (daya merenungkan diri) dari batin. Tidak mungkin lagi untuk melihat ke dalam atau merenungkan diri, dan sekalipun saya berjuang sekuat tenaga untuk sadar-diri, batin selalu jatuh ke dalam keheningan dari tanpa-diri atau tanpa kesadaran. Bukan saja diri lenyap sebagai obyek bagi dirinya sendiri, tetapi juga lenyap sebagai subyek; karena keduanya saling berhubungan secara relatif satu sama lain, maka tidak mungkin ada yang satu tanpa yang lain.
Namun, yang jelas ialah bahwa suatu aspek dari batin terbuka terhadap Yang Tak Dikenal di dalam suatu tatapan kontemplatif, suatu tatapan yang saya kenal betul, tetapi sebelum ini tidak pernah diterapkan secara menetap atau terfokus secara permanen, suatu tatapan yang dari situ batin tidak mampu beranjak. Dengan membiarkan tatapan ini berjalan sepenuhnya (karena tidak ada pilihan lain), saya menjadi terbiasa dengan ketidakmampuan melihat ke dalam, dan dengan cara ini berangsur-angsur indra-indra mengambil alih peran--dan mampu untuk tetap jaga atau mengatasi kecenderungan terus-menerus untuk jatuh ke dalam kekosongan yang sama dengan kesadaran.
Sekalipun menyadari bahwa diri telah lenyap, saya masih bisa melihat ke dalam sekali lagi untuk terakhir kali, dan ketika melakukan itu, saya melihat bukan hanya satu, melainkan ada dua kekosongan. Bukan hanya diri yang lenyap, tetapi tiba-tiba Tuhan juga lenyap; bagaimana pun juga keduanya dulu adalah satu pusat yang tunggal. Dengan lenyapnya pusat illahi itu, rasanya seperti seluruh energi kehidupan tiba-tiba terkuras habis. Yang lenyap adalah suatu rasa kehidupan yang sebelum itu saya tidak pernah tahu memilikinya, oleh karena rasa itu tidak berhubungan dengan indra atau dengan energi tubuh sehari-hari. Rasa kehidupan dan keberadaan yang tak terperikan ini merupakan dimensi lain dari kesadaran yang telah kita singgung di atas--yakni diri-yang-merasa [the feeling-self]. Sebagai suatu energi yang halus, rasa kehidupan yang mendalam ini bukanlah diri-yang-tahu [the knowing-self], melainkan diri-yang-merasa, yang terletak di pusat kesadaran atau pusat keberadaan. Kedua dimensi ini bersama-sama--tahu dan merasa--membentuk keseluruhan kesadaran, dan bertanggung jawab bagi segala sesuatu yang kita alami sebagai diri. Lenyapnya diri ini bukanlah pengalaman yang berlalu, melainkan suatu peristiwa yang mengantarkan suatu dimensi eksistensi yang sepenuhnya baru, suatu eksistensi di mana tidak ada lagi diri. Dimensi baru ini mula-mula harus ditemukan, lalu berlangsung penyesuaian diri dengannya--yang memakan waktu bertahun-tahun.
Maka di dalam peristiwa pertama, yakni menutupnya mekanisme refleksif, saya tidak bisa lagi MENGINGAT diriku; di dalam peristiwa kedua, yakni lenyapnya pusat illahi, saya tidak bisa lagi MERASAKAN diri saya.

[Catatankaki: Ada dua tahap dari lenyapnya diri. Tahap pertama dikisahkan dalam Bab 1 dari buku ini, sedangkan tahap kedua dalam Bab 2. Tahap yang paling luar biasa adalah lenyapnya secara tiba-tiba pusat keberadaan, yang adalah juga pusat energi yang menggerakkan mekanisme refleksif. Diri adalah jauh lebih dalam daripada sekadar cara tahu; di atas segalanya, ia adalah perasaan ada, kehidupan dan energi (the feeling of being, life and energy) yang tidak mungkin dideskripsikan secara eksperiensial.]

Saya rasa, urutan peristiwa ini penting, oleh karena secara retrospektif hal itu memungkinkan saya menyusun kembali pengalaman yang disebut “diri”, suatu pengalaman yang tampaknya lenyap dalam urutan terbalik dari urutan pemunculannya pertama kali. Dan tentang bagaimana diri ini muncul, ada yang perlu saya sampaikan nanti. Di sinilah saya mendapati bahwa keheningan tanpa-diri akan kokoh bertahan terhadap ulah pikiran yang paling menakutkan dan tak diketahui. Saya belajar bahwa tanpa perasaan apa pun untuk mendukungnya, pikiran sama sekali tak berdaya untuk menghasilkan apa pun. Pada saat yang sama menjadi jelas bahwa keheningan dan diamnya tanpa-diri sesungguhnya merupakan berkah yang mengagumkan dan tak dapat dibatalkan.
Melalui peristiwa-peristiwa ini saya mulai memahami betapa rasa pribadi dan tak terperikan akan energi dan kehidupan subyektif merupakan inti, pusat yang keras, yang disekelilingnya dibangun sistem afektif (sistem perasaan); suatu sistem yang bukan hanya milik diri, tetapi ADALAH diri. Rasa kehidupan pribadi adalah ibarat sebuah biji di dalam, yang bercabang-cabang keluar meresapi seluruh aspek keberadaan kita. Dan tanpa diri berarti tanpa benih ini, tanpa rasa di lubuk jiwa akan keberadaan, kehidupan dan energi pribadi, bersama seluruh cabang-cabangnya, yakni seluruh sistem afektif.
Maka di dalam peristiwa kedua dari perjalanan ini, benih ini beserta segala sesuatu yang berasal darinya tercabut sampai ke akarnya sekaligus, seperti sebuah pohon yang tiba-tiba tumbang. Kehidupan berjalan terus, tetapi itu suatu kehidupan baru, sesuatu yang bukan pribadi maupun tanpa-pribadi (impersonal)--itu sekadar suatu kehidupan tanpa diri. Jadi, itulah yang saya dapatkan: diri mencakup seluruh jaringan afektif emosional dari perasaan-perasaan, mulai dari getaran energi tak sadar yang paling halus sampai luapan emosi yang paling ekstrem. Sekalipun terpisah dari sistem kognitif, kehidupan afektif begitu meresapi batin beserta seluruh proses-prosesnya sehingga kita tidak pernah dapat memisahkan energi kita dari daya-daya kognitif selama kesadaran atau diri tetap ada.
Biasanya kita tidak menyadari seberapa luas jalinan ini oleh karena kita cenderung menganggap bahwa kadang-kadang kita bisa bersikap obyektif sepenuhnya, padahal sebenarnya hal itu mustahil. Subyektivitas dan obyektivitas adalah dua sisi dari mata uang yang sama, dari kesadaran yang sama, dan sekalipun intelek tetap utuh ketika sistem afektif lenyap, ia lalu berfungsi dengan cara lain, suatu cara yang tidak dapat diuraikan oleh karena tampaknya tidak ada pikiran sama sekali.
Untuk menjelaskan munculnya sistem afektif, kita cukup mengingat bahwa seorang anak kecil MERASA lebih dulu jauh sebelum ia mulai BERPIKIR. Baru secara berangsur-angsur, dengan berkembangnya mekanisme refleksif, anak itu menemukan adanya keterpisahan antara si pelihat dan apa yang dilihatnya, dan dengan temuan ini ia menjadi sadar-diri. Dan begitu ini terjadi, maka rasa-nya menyatu tanpa dapat dipisahkan lagi dengan tahu-nya. Sejak saat itu, pengetahuannya dan perasaannya akan diri hampir tak dapat dibedakan lagi. Ketika diri lenyap, diri-yang-tahu-dan-merasa ini lenyap berbarengan seperti sistem kembar dari satu jaringan. Setelah kedua peristiwa ini, dan sementara saya melewati minggu-minggu dan bulan-bulan berikutnya, saya berangsur-angsur mendapati bahwa akibat utama dari pengalaman-pengalaman ini adalah lenyapnya seluruh sistem afektif [sistem perasaan]. Namun, perlu waktu setahun penuh sebelum saya sadar akan hal ini; dan latar belakang di mana saya menyadarinya—kekosongan mengerikan yang saya lihat di tepi pantai--mula-mula membuat hal itu seperti pil pahit yang sulit ditelan. Saya mendapati diri saya tanpa sengaja terperangkap tanpa jalan keluar ketika saya menyadari bahwa sekali diri lenyap, keadaan yang dihasilkannya tidak dapat dibatalkan; sistem afektif tidak mungkin dihidupkan kembali. Pada gilirannya, kesadaran ini bertanggung jawab bagi ketakutan dan kengerian yang tak terasa dan tak dikenal yang belakangan muncul dalam batin. Tetapi sekali hal itu dihadapi secara terbuka di lereng bukit itu, fenomena yang tidak waras itu tidak pernah muncul kembali.
Oleh karena perasaan mendahului kesadaran-diri, maka perlu dicatat bahwahanya dengan mengakui diri sebagai obyek kesadaran tidaklah cukup untuk menjelaskan keberadaan diri. Tanpa suatu rasa akan energi atau perasaan pribadi untuk mendukungnya, pengetahuan seperti itu tidak hidup dan tidak punya makna; itu tidak lebih dari sebuah konstruk mental (bentukan batin) yang mudah sekali lenyap seperti kepercayaan seorang anak kecil terhadap Santa Claus. [Itulah sebabnya menghafalkan saja doktrin ‘anatta’ tidak ada gunanya bagi umat Buddha./hudoyo]
Tetapi diri adalah jauh lebih dalam daripada sekadar pengetahuan mengenai keberadaannya sendiri. Yang LEBIH DALAM itu adalah suatu perasaan di lubuk jiwa akan adanya energi, dorongan, kekuatan, dan adanya suatu kehendak yang, bilamana dikaitkan dengan daya-daya kognitif (daya-tahu), menjadi suatu kepastian subyektif bahwa “Inilah aku”, “Aku adalah diriku”. Energi ini meresapi seluruh pikiran, ucapan dan perbuatan kita demikian rupa sehingga kita menganggap bahwa perasaan-perasaan ini merupakan bagian tak terpisahkan dari apa artinya menjadi manusia--suatu anggapan yang sekarang saya lihat sebagai suatu kekeliruan besar. Manusia adalah jauh lebih dalam daripada sekadar diri, daripada sekadar kesadaran. Sekalipun perasaan akan energi pribadi--yang pada tahun-tahun permulaan tak dapat dibedakan dari sensasi akan energi FISIK sederhana—mendahului pengetahuan sadar “ini aku”, jelas bahwa diri baru menjadi suatu kekuatan ketika kesadaran-diri (yang adalah mekanisme refleksif) berkembang sampai pada titik di mana ia mengklaim energi fisik ini sebagai miliknya. Dengan demikian, tidak peduli berapa banyak pun energi fisik dialami oleh manusia, tanpa pengetahuan “ini aku”, energi fisik tidak punya makna atau perasaan lebih daripada efek yang terlihat dari angin dan air, yang tidak seorang pun mengklaim sebagai milik pribadinya.
Namun, ketika mekanisme refleksif menutup, pengalaman akan energi psikis maupun energi fisik lenyap bersamanya. Jelas energi fisik tetap ada, tetapi itu tidak bisa dialami seperti sebelumnya. Terputus dari kesadaran, maka pengetahuan dan perasaan bahwa kita bergerak dengan kekuatan kita sendiri lenyap. Pada mulanya ini memberikan suatu perasaan tanpa berat (weightlessness), suatu pengalaman tak lazim yang akan tetap terasa selama masih dapat diketahui dan diingat adanya perbedaan relatif antara cara lama MERASAKAN kehidupan dan cara baru MENGETAHUI kehidupan. Sementara kita menyesuaikan diri dengan kehidupan yang baru, tidak adanya perasaan akan energi apa pun dengan cepat terlupakan; kira-kira begitulah yang saya pelajari dari pengalaman.
Maka, di dalam sejarah diri, energi fisik datang lebih dulu; mekanisme refleksif datang kemudian, dan menganggap energi itu sebagai dirinya. Dengan pengenalan ini terciptalah pemisahan antara energi fisik dari apa yang sekarang kita namakan “energi-diri”, kehendak, energi mental atau psikis, yang oleh sementara orang dianggap berbeda dan berada di atas alam fisik. Di mana pada mulanya hanya ada energi tubuh, sekarang ada energi batin, yang dihasilkan ketika rasa energi pribadi meresapi sistem kognitif (daya-tahu) untuk memberi tenaga kepada pikiran dan tindakannya. Tidak perlu dikatakan lagi, bahwa dalam dirinya, pikiran tidak mempunyai kekuatan atau makna kecuali ada tenaga atau dorongan yang mendukungnya. Lenyapkan kekuatan ini dari pikiran, maka berpikir tampak tidak lebih daripada sekadar mekanisme neurologis dari otak. Jadi, pada akhirnya, diri bukanlah sekadar si pemikir dari pikiran-pikiran, tetapi pada tingkat yang paling halus dan paling mendasar, diri adalah juga pengalaman akan energi--dengan kata lain, si pelaku.
Mengingat sejarah diri itu, jelas jika orang ingin mengatasi diri, tidak ada gunanya untuk mencoba mengubah baik sistem kognitif (pikiran) maupun sisten afektif (perasaan). Selama otak tetap ada dengan mekanisme refleksif otomatisnya, selama itu pula diri-yang-tahu tetap ada; dan selama tetap ada pengalaman akan energi, selama itu pula diri-yang-merasa tetap ada. Jadi apa pun mekanisme refleksif itu, dan apa pun energi yang menggerakkan mekanisme itu, keduanya sangat strategis bagi kehidupan dengan atau tanpa diri.
Inilah sebabnya saya mengatakan bahwa hanya suatu agen luar yang dapat menghasilkan matinya diri; oleh karena mekanisme refleksif itu bersifat otonom dan tidak berada di bawah pengendalian kesadaran, maka diri tidak mungkin menjadi sebab dari kelenyapan dirinya. Berpikir bahwa kesadaran atau diri dapat melenyapkan dirinya sendiri adalah suatu kontradiksi.
Namun, pada suatu hari kelak, kita mungkin menemukan rahasia dari mekanisme refleksif, dan dengan berbuat demikian, menemukan perbedaan antara manusia dan binatang. Suatu pemutusan mekanisme ini yang prematur mungkin akan lebih merugikan bagi kehidupan manusia daripada apa pun yang pernah dibuat manusia untuk memusnahkan diri.
Tetapi, bila waktunya masak--waktu yang tak seorang pun tahu—mekanisme ini berhenti, dan memberi jalan bagi suatu kehidupan yang tidak lagi memerlukan diri. Ini tidak berarti bahwa kita mundur kembali ke dalam kehidupan bayi atau kehidupan binatang. Sekalipun kita terus ikut serta dalam setiap strata eksistensi, lenyapnya diri adalah suatu gerakan maju, bukan gerakan mundur. Begitu batin telah terkondisikan dengan semestinya terhadap potensi manusiawi, ia tidak membuang ini untuk dapat melihat “apa” yang terletak di balik itu.
Mungkin ketidakkekalan diri dapat dibandingkan dengan organ pinealis yang terletak di tengah otak kita, yang dikatakan berfungsi pada masa-masa perkembangan kita, tetapi belakangan tidak berfungsi lagi. Secara itu pula, diri yang perlu bagi cara tahu spesifik pada sebagian besar masa kehidupan kita, tidak lagi berfungsi ketika kita telah melampaui kegunaannya.
Intervensi dari suatu agen luar banyak kaitannya dengan tercapainya oleh manusia suatu tingkat perkembangan psikologis yang tak dikenal--atau batas potensi manusiawi--sebelum agen ini dapat bertindak, atau sebelum manusia berani hidup tanpa diri. Ini berarti bahwa diri bukan hanya dimensi manusiawi kita untuk tahu dan merasa, tetapi juga “jalan” bagi manusia untuk akhirnya masuk ke dalam kehidupan dan dimensi lebih tinggi. Jadi jelas bahwa tujuan memiliki diri adalah untuk akhirnya mengatasinya. Kesadaran akan keutuhan dan kesatuan yang tercapai sebelum perjalanan kedua dimulai--kesatuan mana dimungkinkan dengan satunya diri dan Tuhan--berbeda dari Kesatuan yang tetap ada ketika diri tidak ada lagi. Oleh karena pengalaman akan keutuhan dan kesatuan ini hanya relatif terhadap pengalaman akan ketidakutuhan dan ketidaksatuan, maka pengalaman ini jelas bersifat relatif--sebagaimana semua pengalaman dari diri. Tetapi di atas diri semua pengalaman relatif ini lenyap, yang tinggal adalah Yang Satu yang non-relatif dan tak terperikan. Namun, kesatuan dan keutuhan awal itulah yang merupakan persiapan yang perlu bagi perjalanan kedua; tanpa itu, saya tidak melihat bagaimana perjalanan itu bisa dilakukan. Untuk sampai pada tanpa-diri, harus ADA diri lebih dulu, suatu diri yang utuh--suatu diri sejati. Di tahun-tahun belakangan ini, disiplin psikologi telah mulai menyelidiki proses integrasi dan kesatuan dari diri, tetapi tak diragukan lagi masih lama waktunya sebelum disiplin itu sampai pada penyelidikan tentang proses disintegrasi dan pada akhirnya tentang lenyapnya diri. Setidak-tidaknya, pada dewasa ini tidak seorang pun yang saya ketahui bahkan menerima adanya kemungkinan seperti itu. Mungkin penyelidikan itu akan berkembang dari upaya meluaskan pengetahuan kita tentang proses penuaan, atau mungkin, tentang hakikat sejati dari kematian. Tetapi sebagaimana dianut sekarang, tampaknya diri dianggap sebagai keniscayaan illahi yang bersifat abadi mulai dari saat kelahiran sampai kematian dan berlanjut ke seberangnya. Penolakan untuk melihat keluar dari itulah yang menyebabkan penyelidikan tentang diri menjadi sistem penyelidikan yang begitu tertutup. Dan penolakan ini, sebagaimana setiap asumsi yang tidak dipermasalahkan lagi, yang ternyata membatasi, mengungkung, dan pada akhirnya memerangkap kita ketika tidak ada jalan keluar lagi yang terbuka kepada perubahan ontologis atau kepada “apa” yang terletak di luar semua diri atau kesadaran.


***

Setelah kita melihat bahwa inti dari diri adalah pengalaman terdalam kita akan kehidupan dan energi, kita perlu membahas sedikit mengenai cabang-cabang yang berasal dari benih ini: yakni seluruh sistem afektif, yang mencakup bukan hanya emosi, tetapi juga berbagai perasaan yang biasanya tidak kita kaitkan dengan diri. Yang berikut ini adalah apa yang saya ketahui mengenai sistem itu, yang didasarkan bukan hanya pada apa yang saya temukan dalam perjalanan ini, tetapi juga banyak pada apa yang saya pelajari sebelum perjalanan itu mulai.
Oleh karena sistem afektif itu berada pada satu kontinuum (bentangan) yang relatif, saya melihatnya sebagai jungkat-jungkit yang ujung-ujung dari papannya (kontinuum) mewakili ketertarikan dan penolakan yang ekstrem, sedangkan bagian yang paling dekat dengan pusatnya yang hampir tak bergerak mewakili gerakan-gerakan [perasaan] yang lebih halus dan sering kali tak disadari. Dengan menganggap bahwa titik tumpu di atas mana kontinuum itu berdiri adalah sistem kognitif, maka kita bisa melihat bahwa proses integrasi adalah suatu upaya penyeimbangan yang tujuan akhirnya mempertahankan keseimbangan terhadap berbagai kekuatan yang berusaha merusaknya. Kekuatan terbesar yang melawan keseimbangan ini berasal dari kedua ujung ekstrem kontinuum, sedangkan kekuatan-kekuatan yang lebih halus, yang terletak paling dekat ke pusat, bertanggung jawab bagi gerakan spontan kita yang paling awal ke arah ujung. Jelas bahwa stabilitas optimum tercapai pada pusat dari kedua sistem [kognitif dan afektif], sebuah pusat yang di situ pada akhirnya pemeditasi [si kontemplatif] menemukan akses maksimum kepada titik-hening—yang adalah titik yang tidak termasuk sistem, melainkan tercapai melalui sistem. Sesungguhnya, satu-satunya alasan bagi pemeditasi untuk menginginkan kestabilan atau kesatuan antara kedua sistem itu ialah oleh karena pusat yang diam, hening, hampir tak bergerak dari kontinuum itu merupakan pintu gerbang menuju pusat sejati dari keberadaannya—yakni titik-hening illahi. Dengan demikian, sementara keseimbangan yang dicari oleh seorang bukan-pemeditasi [non-kontemplatif] hanyalah keseimbangan di antara kedua sistem itu sendiri, seorang pemeditasi mencari penyesuaian antara kedua sistem dengan titik-hening--yang, sekali lagi, hendaknya jangan dikacaukan dengan pusat yang hampir tak bergerak dari sistem afektif. Pusat dari sistem afektif adalah kehendak, dan karena kehendak adalah energi atau kekuatan, sistem afektif memperoleh energinya dari kehendak. Selama kehendak tidak bergerak--tidak menginginkan ini-itu--sistem afektif juga tidak bergerak. Namun, melandasi kehendak terdapat titik-hening illahi; dengan demikian, ketika kehendak diam dan hening, ia memiliki akses optimal kepada titik-hening itu. Itulah sebabnya kehendak untuk ini-itu menghambat akses kepada titik-hening illahi itu, dan mengapa keadaan “tanpa-keinginan” mempunyai nilai khusus dalam kehidupan kontemplatif. Namun, keadaan tanpa-keinginan ini bukan akhir dari tujuan, melainkan cara yang dengan itu seorang pemula dapat mengakses titik-hening itu.
Jadi pusat yang hampir tak bergerak dari kontinuum afektif (bentangan perasaan) adalah kehendak, dan di pusat itulah si kontemplatif (pemeditasi) berkontak dengan Tuhan. Jelas tidak perlu dikatakan lagi bahwa Tuhan bukanlah tak-bergerak, lebih lagi Tuhan bukan titik-hening; istilah-istilah itu hanyalah sekadar bahasa pengalaman dan bukan usaha untuk mendefinisikan Tuhan. Maka titik-hening mengacu kepada “titik” pengalaman yang tak terlokalisir dari diri kita, di mana manusia berjumpa dengan Tuhan. Dari sisi manusia, titik itu tampak berada pada pusat kontinuum afektif, yang, dapat saya tambahkan, tampaknya tidak bergantung pada titik tumpu di bawahnya (sistem kognitif).
Si kontemplatif terus-menerus mengamati kontinuum ini, mencari titiknya yang paling hening, tetapi sering kali tidak dapat menemukannya. Oleh karena itu, titik-hening itu, bila terlihat, bertindak sebagai mercu suar yang padanya si kontemplatif memusatkan tatapannya, dan dengan berbuat demikian, tertarik seperti magnet kepada pusat ini, yang di situ sistem afektif ini berhenti sama sekali. Dengan cara ini, titik-hening bertindak sebagai penghambat terbesar yang kita ketahui bagi kontinuum afektif (bentangan perasaan); ia berangsur-angsur melumpuhkan semua gerakan di sepanjang kontinuum itu dengan membuatnya berhenti di dalam suasana damai, diam dan hening yang tak tergoyahkan. Secara keseluruhan, ia berhenti di dalam kepastian dari keberadaan-Nya sendiri.
Sebagai seorang kontemplatif yang belum berpengalaman, saya melihat betapa sering saya merusak rasa keberadaan ini dengan menjadi emosional terhadapnya sehingga Tuhan tertutupi dan terhapus oleh reaksi-reaksi saya yang ekstrem. Saya tahu saya harus diam, tetapi tidak bisa mencapainya dengan usaha saya sendiri. Bila saya mencoba mengabaikan keberadaan ini, membiarkan apa adanya, tidak melakukan apa-apa terhadapnya, hasilnya lebih baik; tetapi sayang sekali sebaliknya tidak membawa hasil. Kita dapat mengabaikan Tuhan, tetapi ia tidak dapat mengabaikan kita seperti ia tidak dapat berhenti ada, dan oleh karena ia ada ia menyentuh kita, dan karena alasan ini saya tidak memperoleh banyak kemajuan dalam upaya saya untuk mempertahankan keheningan batiniah yang diperlukan Baru setelah mengalami Malam Ruh yang pasif atau keadaan unitif, saya mampu berkontak terus-menerus dengan titik-hening tanpa suatu luapan afektif. Alasannya ialah karena hakikat dari keadaan unitif ini adalah menyatunya dua kehendak (manusiawi dan illahi) dan dengan demikian menyatunya dua kekuatan. Mulai dari sini kehendak tidak mungkin lagi bergerak bertentangan dengan Tuhan, bahkan juga tidak bertentangan dengan kepentingan tetangga kita, oleh karena sekarang Tuhan memegang kekuatan kehendak kita di dalam tangannya.
Keadaan unitif tidak melumpuhkan kehendak, tidak pula sebagai akibatnya melumpuhkan sistem afektif. Hanyalah gerakan kehendak yang bertentangan dengan pusat illahi yang terputus untuk selamanya atau tidak dimungkinkan lagi. Namun, untuk menemukan hal ini diperlukan situasi-situasi di mana gerakan dan perbuatan yang bertentangan itu biasanya muncul. Jika tidak, kita tidak bisa belajar bagaimana kesatuan ini bekerja, perubahan apa yang telah terjadi, atau apa sesungguhnya keadaan unitif ini. Itulah sebabnya bahwa pasar--yang mengikuti keadaan unitif ini--memberikan kesempatan maksimal bagi gerakan-gerakan itu untuk muncul, dan mengapa seorang petapa yang berada dalam keadaan sama, tidak memahami benar apa sesungguhnya keadaan unitif itu; baginya penyatuan adalah akhir perjalanan. Namun, keadaan unitif dan pasar hanyalah jalan dan cara kepada tujuan yang lebih besar.
Baru setelah pencerahan unitif, saya menemukan dengan lega bahwa saya tidak dapat lagi mengalami ujung-ujung ekstrem dari kontinuum itu, oleh karena setelah ini, tidak ada apa pun yang mampu mengubah rasa mendalam akan kedamaian, keheningan dan kekuatan yang diberikan oleh pusat illahi itu. Tetapi sekalipun papan jungkat-jungkit itu tidak lagi berayun ke titik-titik ekstrem, ia tetap bergoyang naik-turun. Selama bertahun-tahun, pusat di-dalam dari perasaan “semuanya baik” ini diuji oleh banyak ragam kekuatan dan lingkungan lahiriah yang mencoba menggoyang pusat yang tak tergoyahkan itu. Kadang-kadang saya bertanya-tanya, apa yang menahan saya dari merosot ke ujung yang dalam, tetapi pada saat terakhir titik-hening itu selalu terbuka, mengembang dan menarik segala sesuatu ke dalam keheningannya kembali.
Demikianlah, setelah bertahun-tahun berada di pasar, saya tahu bahwa tanpa saya sadari saya telah beranjak ke pusat, atau cukup dekat kepadanya sehingga tidak satu pun respons terhadap berbagai peristiwa dalam kehidupan melampaui gerakan awal yang spontan. Namun, oleh karena gerakan-gerakan ini begitu otomatis dan otonom, mereka tampak berada di luar kendali saya, dan saya sangat skeptis mengenai hal ini. Saya tidak pernah menyukai kehidupan secara instinktif, dan selalu mengutamakan rasio di atas emosi. Di samping itu, saya juga tidak begitu percaya terhadap aspek manapun dari sistem afektif karena ia tidak pernah mengajarkan kepada saya kebenaran dari apa pun. Saya merasa lebih bijak daripada mendasarkan iman, harapan atau kemurahan saya pada apa yang saya rasakan pada hari itu. Oleh karena alasan-alasan ini, saya memandang gerakan-gerakan spontan itu sebagai kemacetan yang aneh dari keheningan yang mutlak. Sekalipun gerakan-gerakan itu sendiri tidak merugikan, saya mendapati mereka lebih membingungkan daripada apa pun yang pernah saya alami sebelumnya; saya tidak yakin, apakah gerakan-gerakan itu berasal dari diri saya, dari Tuhan, atau dari sejenis kekuatan instinktif yang tak dikenal. Akhirnya saya memutuskan bahwa gerakan-gerakan itu mewakili kesenjangan antara saya dan Tuhan, suatu garis pemisah atau kemacetan misterius yang tidak mampu saya pintasi. Tetapi dengan mengambil sikap menunggu, saya dapat sampai pada suatu titik di mana saya mengamati gerakan-gerakan itu tanpa berbuat sesuatu terhadapnya. Ketika mengamati itulah saya memperoleh temuan yang menarik pada suatu hari Celah antara pusat yang hampir tak bergerak dari kontinuum dan titik-hening ternyata merupakan padang pertempuran antara dua kekuatan yang saling berlawanan. Namun, pertempuran itu bukanlah antara ujung-ujung ekstrem afektif, bukan pula antara kedua sistem itu sendiri (afektif dan kognitif), melainkan antara dua kekuatan misterius yang anehnya tampak tidak berkaitan dengan saya sama sekali. Pada suatu saat, saya mempunyai pengalaman unik mengamati diam-diam pertempuran ini berkecamuk di dalam diri saya tanpa saya tersentuh sama sekali. Di sini untuk pertama kali saya bertanya kepada diri sendiri, siapakah yang mengamati ini? Siapakah pengamat dari luar ini? Tentu saja saya tidak mempunyai jawaban. Ketika pertempuran ini mereda, saya menganggap suatu masalah besar telah terselesaikan, tetapi karena tidak tahu apa itu, saya kesampingkan saja kejadian itu sebagai satu lagi misteri kehidupan kontemplatif.
-----
Tidak ada cara untuk menguraikan pengalaman akan pertempuran ini. Ia mulai sebagai suatu gemuruh atau guncangan lirih di kedalaman keberadaan saya dan berlangsung selama berhari-hari. Pada suatu petang, pertempuran itu begitu hebat--dan tampaknya menentukan—sehingga saya merasa tidak bisa berbuat apa-apa selain menontonnya. Di dalam menonton itu, muncul dalam batin saya pengertian akan dua malaikat yang tengah bertempur, di mana malaikat yang satu bertekad untuk membuka sesuatu, sedangkan malaikat yang lain bertekad mempertahankan agar itu tetap tertutup. Pada mulanya saya berpikir, ini mungkin kekuatan baik dan jahat, tetapi karena mereka tidak menyentuh atau bepengaruh terhadap saya, saya mengesampingkan ini sebagai hakikat mereka. Saya tidak pernah melihat akhir dari pertempuran ini atau mengetahui siapa yang menang; tiba-tiba ada keheningan yang mendadak, keadaan diam yang menakjubkan. Setelah itu tidak ada apa-apa lagi yang teramati karena kedua kekuatan itu lenyap secara misterius, sebagaimana mereka muncul.-----


Tidak lama setelah itu, saya memahami pertempuran ini dan menyadari kedua kekuatan yang saling berlawanan itu adalah kekuatan yang mempertahankan diri dan kekuatan yang memusnahkan diri. Namun kekuatan-kekuatan ini berada di luar kesadaran dan tidak menyentuhnya; mereka tidak berada di bawah kendali atau pilihan manusia. Paling-paling kita hanya bisa tahu akan keberadaan mereka. Garis pemisah di antara mereka adalah laksana pintu gerbang, yang ditutup oleh kekuatan yang mempertahankan bagi siapa pun yang ingin keluar, sementara kekuatan yang memusnahkan menjaga agar pintu itu tetap terbuka. Setelah pertempuran ini saya menyadari bahwa kemacetan itu telah lenyap; gerakan-gerakan awal yang instinktif dan spontan dari kontinuum telah berakhir, dan saya sampai pada peluang yang jelas bagi penyesuaian yang menetap dengan titik-hening. Apa yang terjadi ketika penyesuaian ini terwujud adalah kisah dari perjalanan ini, suatu perjalanan yang bukan hanya melampaui semua gerakan afektif, tetapi juga melampaui kontinuum itu sendiri.
Dengan cara ini, titik-hening itu berangsur-angsur--melalui masa bertahun-tahun di pasar--menarik sistem itu ke dalam keheningannya, dan begitu keheningan itu sempurna, kontinuum itu lenyap, diri lenyap, dan karena bersifat relatif terhadapnya, titik-hening itu juga lenyap. Jadi pada akhirnya, penyatuan dengan Tuhan belum sungguh-sungguh sempurna sampai tidak ada apa-apa lagi yang tinggal untuk menyatu. Antara diri (pusat hening pada kontinuum afektif) dan Tuhan (titik-hening) tidak ada celah yang tertinggal. Apa yang tinggal adalah apa yang Ada, semua yang Ada, dan identitasnya tak diragukan lagi.
Baru-baru ini seorang teman mengatakan kepada saya bahwa lenyapnya sistem afektif selalu merupakan gejala gangguan jiwa (psikotik). Sementara saya tidak pernah mendengar hal itu sebelumnya dan tidak dapat memastikannya, sudut pandang saya pada saat ini justru sebaliknya. Menurut saya, justru sistem afektif bukan saja merupakan sebab dari setiap penyakit jiwa, tetapi juga sebab dari semua penderitaan manusia. Suatu masalah jasmani tanpa sistem ini tidak akan menyebabkan penderitaan mental atau psikologis, oleh karena di situ tidak ada ketakutan, kecemasan, dan sebagainya yang begitu mudah meledak menjadi gangguan emosional.
Sejalan dengan itu, ada pengakuan seorang laki-laki yang berkata bahwa ia sangat ketakutan memikirkan lenyapnya dirinya. Yang jelas tidak disadarinya ialah bahwa ketakutan dan kengerian itulah diri, dan bahwa tanpa sebuah diri tidak mungkin ada perasaan-perasaan seperti itu. Sesungguhnya, tanda pasti bahwa diri tidak ada lagi ialah tidak adanya gejala-gejala afektif ini. Jadi, selama masih ada ketakutan akan kehilangan diri, diri tetap ada--dalam hal mana sesungguhnya tidak ada yang perlu dicemaskan. Tetapi inilah sebabnya mengapa riwayat dari mereka yang benar-benar telah mengatasi dirinya tidak pernah ditemukan dalam kepustakaan psikiatri. Tanpa ada masalah di dalam lingkup afektif, tidak banyak orang akan membutuhkan seorang psikiater atau psikoanalis; sesungguhnya, tanpa suatu sistem afektif, atau tanpa suatu diri, seluruh profesi ini akan kehilangan pekerjaan.
Namun, kita begitu melekat kepada sistem afektif karena takut akan kehidupan seperti apa bila tanpa sistem itu. Kita takut bahwa tanpa perasaan kita akan menjadi makhluk yang tidak manusiawi, dingin, tak peka, seperti robot, yang begitu terpisah dari dunia ini sehingga sama saja artinya dengan mati. Tidak perlu dikatakan bahwa pandangan ini sama sekali tidak benar; itu hanya salah satu mitos yang terbentuk berdasarkan ketakutan akan apa yang tak dikenal--yang merupakan sumber dari semua mitos. Namun, menjelaskan bagaimana hidup tanpa sistem ini pada dasarnya adalah mustahil; itu adalah dimensi yang hanya bisa dialami, bukan dipahami. Yang perlu dikatakan ialah bahwa itu adalah keadaan yang dinamik dan intens, di mana segala sesuatu yang muncul ditangani pada saat-kini. Itu adalah keadaan jaga (sadar) terus-menerus, di mana organisme fisik ini tetap peka, responsif dan sama sekali tidak rusak sedikit pun. Bila telah menyesuaikan sepenuhnya dengan dimensi tanpa-diri, tidak ada apa pun yang hilang atau kurang. Hanya di dalam perjumpaan dengan diri-diri lain, adanya diri atau sistem afektif mengingatkan kembali akan apa yang DULUADA.
Salah satu alasan mengapa dimensi seperti itu sukar dibayangkan ialah bahwa tidak banyak orang menyadari seberapa jauh bentangan sistem afektif itu. Sementara orang mengira bahwa itu adalah hati yang mencinta di dalam batin, padahal itu hanya satu sisi saja dari kontinuum itu. Lawannya, amarah dan kebencian, bertanggung jawab atas satu-satunya kekuatan setan yang ada, oleh karena saya tidak bisa membayangkan satu kejahatan pun yang manusia tidak bertanggung jawab atasnya. Sayang, kedua ujung ekstrem afektif ini tidak jauh satu sama lain, keduanya sekadar relatif satu sama lain. Suatu jalan keluar dari dilema relativitas ini yang sering diajukan ialah hidup hanya pada sebelah papan saja--papan yang baik--tetapi itu tidak bekerja demikian; entah kita secara potensial terbuka terhadap semua gerakan, entah kita tidak dikuasai oleh gerakan apa pun. Namun, beberapa gerakan adalah begitu halus sehingga kita salah mengira itu sebagai gerakan kognitif atau bahkan gerakan fisik, dan oleh karena memfilter sistem ini dari bagian lain keberadaan kita adalah mustahil, maka kita mencari integrasi untuk setidak-tidaknya menjinakkannya.
Maka perlu sekali untuk menyelidiki dengan cermat dan menyadari bahwa akar dari sistem afektif adalah diri-yang-merasa; perasaan akan keberadaan, energi dan kehendak pribadi. Pada gilirannya, diri-yang-merasa ini bercabang-cabang keluar menghasilkan keinginan-keinginan dan harapan-harapan yang mewarnai setiap persepsi dan pikiran, sampai ia merambah ke dalam setiap pengalaman, termasuk rasa estetik akan keindahan, rasa kepuasan, kedamaian, kebosanan, kecapaian, kesepian, dan sebagainya. Singkatnya, sistem ini mencakup setiap rasa psikologis di dalam dan rasa spiritualitas kontemplatif yang kita ketahui. Oleh karena diri adalah semua ini dan jauh lebih banyak lagi, maka setiap uraian tentang apa yang tinggal ketika diri lenyap mau tidak mau menampilkan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan moral, perilaku, relasi, bahkan metafisika. Tanpa sebuah diri, muncul pertanyaan: bagaimana dengan standar ukuran bagi kehidupan yang baik, tindakan benar, keputusan, tata nilai dan sebagainya? Mengatakan bahwa tidak ada standar berarti mengatakan sesuatu yang tak terpahami, tetapi juga mengatakan kebenaran--namun, kebenaran yang hanya berlaku bagi tanpa-diri. Sebelum sampai kepada dimensi ini, harus ada standar-standar oleh karena sifat diri adalah menciptakan standar, kemudian hidup dengan menaati standar.
Sukar dipahami adanya keadaan tanpa daya-upaya, tanpa pilihan yang tidak membutuhkan standar untuk bertahan (survive). Pikiran tidak dapat menangkap alam non-relatif, yang di situ tidak ada serba-ganda (multiplisitas), kesatuan antara hal-hal berlawanan, atau kebutuhan untuk menggarap perbedaan apa pun. Dimensi ini tidak lebih daripada sekadar tatapan sederhana langsung pada Yang Satu yang Ada, tatapan yang tidak lagi bisa melihat kontinuum yang tidak ada dari pilihan-pilihan yang tidak ada. Tidak pula ia melihat ke belakang atau ke depan, oleh karena di dalam saat-kini setiap saat adalah cukup bagi dirinya sendiri. Tidak mungkin lagi untuk melangkah keluar dari saat ini, di mana tidak ada lagi pilihan dan tidak ada standar. Dimensi non-relatif inilah yang tidak saya temukan ketika mencari di dalam kepustakaan kontemplatif suatu pencerahan mengenai keadaan khusus ini. Oleh karena diri bertanggung jawab untuk suatu rasa di dalam, kriteria pencarian saya adalah tidak adanya kehidupan di dalam--yang tentu saja tidak saya temukan. Alih-alih, saya menemukan uraian-uraian lazim tentang cinta dan kebahagiaan, cahaya dan energi, Tuhan di dalam dan diri sejati, yang semuanya merupakan uraian dari gerakan kontemplatif pertama, dan yang semuanya masih berada di dalam domain afektif yang relatif. Sementara saya mengalami banyak dari pengalaman-pengalaman ini, saya harus mengesampingkannya sebagai bukan termasuk gerakan yang sekarang. Saya tidak menemukan seorang pun yang mengakui atau sekadar menduga bahwa kehidupan afektif bisa lenyap dengan sempurna. Paling-paling, dikatakan hanya aspek-aspek negatifnya yang akan lenyap, dan fakta inilah yang paling meragukan bagi saya. Jika kita akan hidup kekal di dalam kutub positif afektif, saya tidak melihat kemungkinan bagi suatu kehidupan yang seimbang; juga saya tidak melihat bahwa kita tidak mungkin cepat atau lambat mengalami ayunan ke kutub yang berlawanan. Dengan kekecualian pusat yang hampir tak bergerak, setiap titik atau gerakan pada kontinuum itu bersifat relatif terhadap titik atau gerakan lain. Jadi, selama sistem afektif itu ada, kita tidak pernah bisa keluar dari kerelatifan pengalaman-pengalaman kita. Perasaan-perasaan akan cinta, kebahagiaan, sukacita dan segala sesuatu yang tak terperikan hanyalah sekadar relatif terhadap lawannya, ketiadaannya, atau salah satu titik lain di sepanjang kontinuum itu. Jadi, ketika saya menemukan uraian-uraian seperti ini, saya tahu bahwa itu bukanlah yang saya cari. Uraian-uraian seperti itu tidak mengacu kepada gerakan kedua atau kepada dimensi di luar diri. Terpikir oleh saya bahwa mungkin lenyapnya kehidupan afektif merupakan sejenis pengetahuan esoterik yang tidak diberikan kepada orang luar atau bahkan kepada orang yang ahli meditasi. Oleh karena ia tidak dapat memahami hal itu sebelumnya, sebagai sesuatu yang bisa diharapkan di masa depan, hal itu mungkin terlalu menakutkan. Jadi, sebagaimana adanya sekarang, tujuan kontemplatif yang tinggi pada umumnya dianggap sebagai suatu perasaan bahagia yang tidak terputus, suatu perasaan surgawi yang tampak merupakan tujuan yang diterima dan diharapkan oleh manusia. Saya merasa menyesal dengan ini karena hal ini tidak akan tercapai. Surga adalah sesuatu yang lain.
Namun, untuk itu semua dapat dikatakan bahwa selama masih ada diri, sistem afektif adalah sebuah pohon kehidupan pribadi yang cukup kokoh, yang di situ setiap orang dewasa yang matang pada akhirnya merasa aman. Masalah yang ada dengan pohon itu ialah bahwa beberapa buahnya baik dan beberapa buah yang lain tidak begitu baik, dan selama pohon itu masih produktif, selalu ada kemungkinan menghasilkan kedua jenis buah itu. Inilah risikonya, harga yang harus dibayar untuk pengetahuan yang memungkinkan diperoleh pencapaian-pencapaian ilmiah dan budaya. Tetapi betapa pun kita berhutang budi kepada buah-buah yang baik, pohon ini sama sekali tidak kekal. Pada dasarnya, diri hanyalah suatu dimensi eksistensi yang sementara, suatu dimensi yang pada akhirnya manusia harus belajar hidup tanpa itu; jika tidak sekarang, kelak.
Mungkin pertanyaan-pertanyaan paling relevan yang perlu ditanyakan berkaitan dengan lenyapnya diri-yang-merasa adalah yang berikut: Apa yang terjadi dengan aspek-aspeknya yang lebih baik, bagaimana kita menjelaskan kemurahan, simpati, welas asih dan kasih sayang? Bagaimana mungkin menganggap dimensi non-relatif sebagai “lebih baik” jika ia tidak memiliki kebajikan-kebajikan itu?
Bagi seorang yang telah melewati perjalanan ini, pertanyaan-pertanyaan ini tidak muncul oleh karena ia tidak sadar akan tidak adanya kebajikan (virtue)--yang tidak bergantung pada perasaan. Namun, yang tidak ada ialah keperluan untuk berlatih, oleh karena tidak perlu melatih apa yang sudah ada. Yang tinggal sesudah perjalanan ini bukanlah tidak ramah, tidak peduli, tidak memahami, mengutuk, dan sebagainya; singkatnya, kebutuhan untuk melatih kebajikan tidak muncul. Yang sebelumnya harus kita perjuangkan dan bangun, sekarang “ada” dengan sendirinya, seolah-olah itu hal yang paling wajar di dunia. Tetapi jika pertanyaan-pertanyaan ini tidak relevan terhadap keadaan itu sendiri, mereka akan muncul di dalam pendeskripsiannya, dan pada suatu kali pertanyaan-pertanyaan itu diajukan kepada saya dengan cara yang pada mulanya tidak saya pahami.
Ketika mengembalikan naskah buku saya, seorang teman yang religius bertanya kepada saya, “Yang ingin saya ketahui, menurut Anda bagaimanakah perjalanan ini telah mengubah Anda? Apakah dampaknya pada Anda? Dengan cara bagaimana Anda telah berubah?” Pertanyaannya itu mengejutkan saya, oleh karena terus terang saya mengira telah menjelaskan semua itu di dalam tulisan saya. Saya pikir, perubahan-perubahan yang terjadi begitu jelas, sehingga sekalipun saya tidak berbakat, peristiwa-peristiwa itu sendiri telah bercerita. Namun, dengan pertanyaannya itu saya melihat kekeliruan saya, dan menyadari bahwa seandainya saya menulis seumur hidup pun saya tidak akan bisa menjelaskan kepada orang lain perubahan-perubahan yang begitu gamblang bagi saya. Baru-baru ini seseorang memberikan kepada saya sebuah pepatah Hindu yang kira-kira berbunyi: mereka yang berkata telah melihat, tidak melihat, oleh karena mereka yang melihat tidak berkata apa-apa. Sekarang dapat saya tambahkan: bahkan mereka yang berkata telah melihat, tidak mengatakan apa-apa. Jadi, entah kita mengatakan sesuatu entah tidak berkata apa-apa, tidak ada bedanya.
Namun, pertanyaan teman saya itu tertanam dalam batin saya. Saya terus-menerus memikirkan hal-hal yang belum saya katakan--dan itu cukup banyak--tetapi tidak satu pun yang menjawab pertanyaannya. Akhirnya saya menyimpulkan, karena ia adalah orang yang religius, tentu ia mengacu pada standar ukuran Kristiani yang lazim: dari buahnya engkau akan mengenalnya. Jadi pertanyaannya menjadi: apakah saya menjadi orang yang lebih baik, seorang Kristen yang lebih baik, lebih murah hati, lebih saleh, dan sebagainya? Sekalipun pikiran untuk menjawab “tidak” menurut saya agak terlalu jahil, mau tidak mau saya harus menjawab demikian, oleh karena bahkan lebih dari itu pun tidak ada untuk menunjukkan bahwa saya telah menempuh perjalanan itu. Malah sebaliknya, lebih sedikit lagi yang tampak dibandingkan sebelumnya, oleh karena keadaan-keadaan yang dulu muncul memberikan kesempatan untuk melatih kebajikan sekarang tidak muncul lagi. Ini bukan berarti tidak ada kebaikan, melainkan bahwa sebagai suatu latihan, kebajikan itu tidak ada lagi. Saya rasa, kunci untuk memahami ini terletak pada fakta bahwa kehendak, yang memberikan kekuatan untuk menggerakkan kebajikan atau kejahatan, telah lenyap. Oleh karena kebajikan berarti “kekuatan” atau kehendak positif, maka tanpa kehendak tidak ada pula kekuatan atau kebajikan seperti itu.

Kalau belum digarisbawahi sebelum ini, perlu ditekankan di sini, bahwa daya kehendak, dalam dirinya, adalah intisari dari diri-yang-merasa serta pengalaman akan energi pribadi. Dalam dirinya, pikiran tidak mampu bertindak; ia harus digerakkan oleh kehendak jika ingin berperan dalam perilaku kita. Jadi inilah temuan utama dalam kaitan dengan diri: bahwa intinya adalah kehendak atau daya volisional.

---------------------
Dengan meninjau kembali kepada perjalanan kontemplatif, dapat ditelusuri kembali adanya tiga masa dalam kehidupan kehendak, Pada tahap permulaan, kehendak ini bebas untuk memilih yang baik atau yang tidak baik; dan setelah memilih kebaikan yang terakhir (Tuhan), ia berlatih dan berjuang mengembangkan kebajikan (virtue) dalam semua aspek kehidupan. Tetapi begitu keadaan unitif tercapai, kehendak berubah: sekarang ia hanya bebas memilih kebaikan, oleh karena gerakan spontannya yang pertama adalah kebajikan atau kebaikan. Keadaan ini tidak bisa lain karena kehendak sekarang telah menyatu dengan kehendak Tuhan; demikian pula, latihan akhirnya berubah menjadi kebiasaan spontan. Tetapi lebih jauh lagi, dengan lenyapnya diri, kehendak tidak lagi bergerak sama sekali, dengan diam-diam ia lenyap oleh karena ia ADALAH diri. Tanpa kehendak tidak ada kebebasan sama sekali; sebagai gantinya yang ada ialah kehidupan tanpa pilihan. Sekalipun kita sering diingatkan akan kehendak bebas Tuhan, pilihan moral apakah yang bisa dimiliki Tuhan? Di dalam dirinya, Tuhan tidak mengenal kejahatan. Kita sering mendengar bahwa Tuhan berada di atas kebaikan dan kejahatan--artinya di atas pilihan-pilihan relatif manusia--jadi, dalam hal ini, bahkan Tuhan pun tidak punya pilihan, tidak punya kehendak. Lebih baik berbicara tentang suatu rencana illahi daripada kehendak illahi.



Sekalipun saya sering berpikir bahwa kehendak lebih merupakan daya kognitif daripada afektif, saya tidak dapat menempatkannya di dalam salah satu kategori itu, setidak-tidaknya secara eksperiensial, oleh karena agaknya kehendak lebih tinggi dan lebih misterius dibandingkan dengan pikiran dan perasaan. Yang saya lihat sekarang ialah, bahwa kehendak menjangkau jauh lebih dalam daripada yang dapat diikuti atau dipahami oleh batin kognitif, dan bahwa kehendak melandasi sistem afektif sebagai sumber dari seluruh gerakannya. Ketika sistem afektif pertama kali lenyap, bukan emosi atau perasaan yang mendadak runtuh; alih-alih, sumber dari kekuatan merekalah, yakni kehendak, yang tak bergerak. Sebagai akibatnya, cabang-cabang afektifnya berangsur-angsur pudar dan lenyap bahkan sebelum kita menyadari mereka tidak ada lagi.
Oleh karena kehendak ADALAH diri, kita bisa melihat bagaimana, ketika diri lenyap untuk selamanya ke dalam titik-hening, maka seluruh sistem afektif tercabut sampai ke akarnya, diam dan hening untuk selamanya. Salah satu aspek yang paling aneh dalam perjalanan ini ialah penyesuaian kepada tidak bergeraknya kehendak. Sebagai sumber dari energi pribadi­bukan energi fisik­tidak adanya kehendak menimbulkan pengalaman akan keadaan tanpa-energi dan tanpa-kehidupan yang mengikuti lenyapnya diri. Banyak dari perjalanan ini merupakan proses penyesuaian terhadap kehidupan tanpa daya ini beserta semua pengalamannya. Tetapi ini dapat menjelaskan, mengapa di atas pohon kehidupan pribadi, tidak ada buah: tidak ada kebajikan, tidak ada kejahatan.
Namun, dari segi praktis, di dalam hidup pada saat-kini tidak ada masalah bagaimana kita merasa atau seharusnya merasa: tidak ada konflik, pergulatan, atau latihan apa pun, oleh karena di dalam saat-kini tidak mungkin ada gerakan ke belakang atau ke depan, entah di dalam waktu entah pada suatu kontinuum. Setiap saat mengandung di dalam dirinya tindakan yang tepat untuk setiap kejadian kecil dalam kehidupan tanpa membutuhkan pikiran atau perasaan. Inilah yang saya namakan “berbuat”, yang adalah kemampuan bertindak tanpa adanya pengalaman di-dalam akan kehendak dan energi. Karena keadaan non-dualistik ini begitu sukar dipahami, maka hal itu menimbulkan banyak pertanyaan psikologis, filosofis dan teologis. Hal itu tidak bisa dipahami dengan intelek semata-mata; ia berada di luar logika, teori dan praktik, yang dulu kita terima begitu saja atau kita kira akan berlangsung selamanya. Terlepas dari pengalaman langsung--kalau bisa disebut demikian--tidak ada apa pun yang dapat diketahui atau diamati dari dimensi ini; hal itu tidak bisa dilihat bila dicari--tidak ada apa pun yang bisa dilihat.
Namun, saya harus mengatakan, saya selalu merasa bahwa standar pengukuran Kristiani patut diragukan. Mengamati buah dari orang lain mau tidak mau bergantung pada penilaian dan opini subyektif terhadap orang lain, yang sering kali jauh lebih meragukan dalam dirinya daripada yang teramati itu sendiri. Misalnya, di antara mereka yang menyaksikan karya-karya baik dari Kristus, beberapa orang mengira bahwa ia melakukan karya-karya ini melalui kekuatan setan, yang lain mengira bahwa perilakunya tidak waras. Tidak ada konsensus mengenai orang ini; sekadar dari buahnya saja, ia tidak dikenal. Ada cara berbeda untuk mengenalnya; suatu cara pribadi yang tersembunyi untuk memahami identitasnya melalui identitas kita sendiri bersama Tuhan. Tanpa ini, tidak mungkin untuk mengenalnya.Lebih jauh saya akan mengatakan, bahwa untuk mengenal orang lain, saya tidak akan terlalu percaya pada apa yang dikatakan orang tentang dirinya, oleh karena kata-kata sangat terbatas bagi si pembicara maupun bagi si pendengar. Ini mungkin terdengar skeptis, tetapi saya yakin ada jalan lain yang lebih baik untuk mengenal orang lain, suatu jalan yang dalam satu sisi tanpa perlu mengenal mereka.
Namun, untuk memahami bagaimana ini bekerja, perlu untuk beranjak dari cara tahu yang biasa, bergerak kepada tingkatan non-relatif, di mana pada mulanya tampak terdapat kontradiksi. Tanpa diri berarti juga tidak ada orang lain, dan oleh karena itu tidak ada hubungan. Jadi bagaimana mungkin megnenali orang lain? Diajukan secara lain: bagaimana kita mencintai orang lain seperti diri kita sendiri bila tidak ada diri, tidak ada orang lain, dan tidak ada cinta afektif? Sebelum menjawab, saya ingin menjelaskan bagaimana, setidak-tidaknya untuk saya, tidak ada perubahan dalam hubungan selama dan sesudah perjalanan ini, dan mengapa ini adalah salah satu aspek kehidupan yang tetap tak terpengaruh dengan melangkahi batas ke dalam cara tahu yang baru. Untuk itu, pertama-tama saya harus menjelaskan bagaimana orang lain dikenal sebelum perjalanan ini, oleh karena mungkin hanya inilah satu-satunya penjelasan yang diperlukan.
Pengalaman saya pertama tentang cara mengenal orang lain--terlepas dari sekadar wujud-wujud empiris--terjadi pada masa kecil saya ketika mendengarkan suatu percakapan di meja makan pada suatu malam. Ayah saya mulai dengan menceritakan apa yang dikatakan oleh seorang Jesuit tentang praktik mendidik anak, yang di situ ia membandingkan seorang bayi dengan tingkatan kehidupan vegetatif (seperti tumbuhan). Ia belum bicara lama ketika Ibu menyela. “Jangan sebut apa yang dikatakannya kepada saya,” katanya, “Ucapannya tidak berharga.” Dengan itu, diskusi berakhir. Tetapi percakapan selanjutnya lebih menarik.
Tampaknya Ibu tidak pernah menganggap bayinya sebagai kacang atau wortel. Sebaliknya, Ibu berkata, ia dapat melihat Yang Illahi bersinar melalui mata polos seorang bayi, sebuah visiun (penglihatan) yang sekali dilihat, tidak pernah hilang, katanya. Sekarang saya memahaminya sebagai suatu kemampuan bagaikan mukjizat, bahwa Ibu bisa melihat di dalam diri saya apa yang saya sendiri tidak bisa melihatnya, dan saya menganggap bahwa orang harus menjadi seorang Ibu lebih dulu sebelum bisa melihat fenomena ini, melihat Tuhan di dalam orang lain. Tentu saja, belakangan saya menyadari bahwa kita hanya bisa melihat di dalam orang lain apa yang sudah kita lihat di dalam diri kita sendiri. Filsafat hidup Ibu didasarkan pada penglihatan akan kehidupan batiniah. Bila saya datang kepadanya dan mengeluh bahwa saya bosan, tidak punya teman untuk diajak bermain, ia mengingatkan saya agar tidak bergantung kepada sesuatu di luar diri saya bagi kebahagiaan saya. Katanya, sukacita dan kepuasan hanya bisa diperoleh di dalam, dan di situlah kita harus mencarinya -- temukan itu. Bila mencari di luar diri kita sendiri, kita mungkin mengira sudah mendapatkannya, tetapi itu tidak akan lestari. Oleh karena itu, demi kebahagiaan kita, tidak seharusnya kita bergantung pada orang lain, pada harta benda material, atau mengharapkan apa pun juga sehingga kita akan patah hati jika harapan kita itu tidak tercapai. Ibu juga menekankan bahwa kita harus belajar menyenangi berada sendirian dan menghabiskan waktu dengan berada sendirian. Tetapi untuk bisa hidup seperti ini, tambahnya, lebih dulu kita mengembangkan sumber daya batiniah kita sendiri, sehingga tidak peduli apa pun yang terjadi dalam kehidupan, kita akan berjalan terus seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Inilah filsafat hidup Ibu, yang cocok untuk segala keadaan dan ditekankan kepada kami dengan banyak variasi.Di tingkatan sadar, saya tidak pernah berpikir secara ini. Sampai taraf tertentu saya tidak perlu melakukannya, oleh karena banyak dari yang dikatakan Ibu merupakan bagian dari perkembangan saya menjadi dewasa. Tidak perlu orang mengatakan bahwa saya harus merdeka, atau bahwa saya harus mencari jalan saya sendiri dalam kehidupan, atau menemukan kebahagiaan saya sendiri. Namun semakin bertambah tua, semakin saya menyadari betapa Ibu telah menggali dari tambang emas di dalam dirinya, dan inilah tantangan sesungguhnya dari keadaan bebas: kemampuan menggali dari sumberdaya di dalam diri sendiri. Karena memiliki sudut pandang ini sejak kecillah saya dapat--sekalipun tak saya sadari--memintasi masalah hubungan, oleh karena saya sama sekali tidak pernah berharap untuk bergantung pada orang lain. Lagi pula, yang saya hargai dalam diri orang lain adalah kebebasan mereka, oleh karena kebebasan itulah yang paling saya hargai dalam diri saya.
Namun, bagi sementara orang, tampaknya masalah atau filsafat dalam kehidupan yang paling utama adalah bahwa kehidupan ini terdiri dari hubungan-hubungan, suatu sudut pandang di mana segala sesuatu dilihat sebagai saling berhubungan (relasional), saling bergantung (interdependen), dan perlu untuk kelangsungan pribadi (personal survival). Pandangan ini sangat menekankan ‘aku’ dan ‘bukan-aku’ sebagai sesuatu yang perlu bagi pemenuhan manusiawi, dan dengan demikian hubungan (relationship) menjadi kepentingan utama--dan menjadi masalah utama juga. Namun pandangan ini begitu asing bagi saya sehingga tidak banyak yang dapat saya katakan tentang itu, tetapi tampaknya jelas bahwa jika kita mencoba untuk melengkapi diri kita dengan pergi mendapatkan orang lain (yang bukan-aku) tanpa berpaling ke dalam kepada “Yang Lain” yang sejati, maka kita telah menempuh jalan yang salah--kesalahan yang tragis.
Hanyalah ketika kita menyadari kesatuan kita dengan Yang Lain yang sejati, maka kita akan sampai kepada kesatuan dan keutuhan yang tak tergoyahkan oleh ujian-ujian yang datang dari pertemuan dengan diri-diri lain. Dengan cara ini, apa pun yang terjadi dalam hubungan kita dengan dunia luar, kita tidak terpecah belah, kita tidak terkoyak-koyak, tersesat, bergantung, atau melihat masalah yang sebenarnya tidak ada. Baru setelah kita sampai pada Yang Lain--titik-hening di pusat keberadaan kita--kita menemukan kunci kepada suatu rasa aman dan bebas yang amat kuat, yang SESUDAH ITU memungkinkan kita untuk mendapatkan orang lain, bermurah hati, memberikan kepada mereka kebebasan mereka, bersikap terbuka dan memahami. Jika oleh karena sesuatu hal kita tidak menemukan sumberdaya di-dalam ini, kita tidak punya pilihan lain daripada menggenggam erat sesuatu di luar; dan gerakan prematur keluar ini, alih-alih ke dalam, yang menimbulkan segala macam masalah dalam hubungan. Jadi, masalah utama dalam kehidupan bukanlah masalah antar-pribadi, melainkan masalah antara individu dengan Yang Lain sejatinya.Tetapi, taruhlah kita telah menemukan keutuhan kita di dalam Tuhan, lalu bagaimanakah hubungan kita dengan orang lain? Oleh karena apa yang kita lihat dan cintai di dalam orang lain hanyalah apa yang kita lihat dan cintai di dalam diri kita sendiri, maka setelah menemukan Tuhan di-dalam, kita sekarang dapat mencintai orang lain seperti mencintai diri kita sendiri--mencintai di dalam mereka Yang Lain yang sama seperti yang kita cintai di dalam diri kita sendiri. Dan oleh karena cinta akan Tuhan berada di luar sistem afektif, begitu pula cinta kita bagi orang lain.
Sebagai anak kecil, saya pernah bertanya kepada Ayah, bagaimana mungkin saya lebih mencintai anjing saya daripada mencintai Tuhan?” Ayah tertawa dan menjawab, “Yang kamu rasakan itu disebut ‘cinta puppy (anak anjing)’, tetapi cinta akan Tuhan adalah tekad yang kuat untuk tidak membuat-Nya marah.” Belakangan, dalam membahas cinta emosional ini dibandingkan dengan cinta akan Tuhan, saya menyimpulkan bahwa sekalipun emosi-emosi itu mungkin hasil dari cinta atau tidak, mereka bukan cinta itu sendiri. Jadi, pada dasarnya cinta terhadap orang lain adalah tekad kuat untuk tidak melukai mereka, di samping mengharapkan bagi mereka kebaikan yang sama seperti yang kita harapkan bagi diri kita sendiri. Demikianlah saya merasa yakin sejak kecil bahwa cinta bukanlah emosi, dan sementara saya memperoleh berbagai pengalaman sepanjang hidup saya, saya tidak pernah menemukan sebaliknya.
Landasan non-emosional dari cinta seperti itu tidak akan dipahami oleh semua orang, namun mudah untuk melihat bagaimana masalah bisa muncul dalam hubungan bila cinta dilandaskan pada emosi kita. Saya pernah berjumpa dengan orang-orang yang tidak mampu membina persahabatan yang lestari, terlepas dari keterlibatan dan kelekatan emosional di mana pihak lain diharapkan berperan sebagai cermin memantulkan suasana batin, humor, ide dan rekayasa mereka sendiri; dan jika pihak lain itu tidak merespons sebagaimana diharapkan, mereka pergi kepada yang lain--mencari orang lain. Namun, melihat Tuhan di dalam orang lain tidak sama dengan melihat-Nya di dalam diri kita sendiri, oleh karena melihat diri adalah pengalaman subyektif langsung ke-dalam, sedangkan untuk melihat Dia di dalam orang lain, mula-mula kita harus bergerak keluar untuk melihat individu itu lebih dulu, dan baru Tuhan kemudian. Tetapi begitu terlihat, Tuhan adalah kualitas di dalam diri orang lain yang untuk selamanya tetap tak terumuskan, tak tersentuh, tak pernah dapat dimiliki, atau bahkan dikomunikasikan secara memadai.
Jadi inilah pandangan saya mengenai “orang lain” dan hubungan-hubungan sebelum saya mengalami perjalanan ini, dan mengapa dengan lenyapnya sistem afektif, tidak ada perubahan apa-apa dalam hubungan-hubungan pribadi; sekalipun sesungguhnya ada perubahan di dalam cara mengetahui orang lain. Kalau dulu mula-mula saya melihat individu, lalu baru Yang Lain sejatinya, sekarang Yang Lain terlihat lebih dulu--dan di mana individunya? Yah, saya tidak sungguh-sungguh melihatnya sama sekali, setidak-tidaknya tidak seperti dulu lagi. Alih-alih sebuah diri, yang saya lihat hanyalah ide-ide, perilaku, keputusan-keputusan, pergulatan, dan lebih banyak lagi, tetapi saya tidak melihat suatu diri oleh karena telah terhapus oleh apa yang sesungguhnya ada.Sekali lagi, kita hanya melihat di dalam orang lain apa yang kita lihat di dalam diri kita sendiri; jadi, bila tidak ada diri, tidak ada juga orang lain. Secara empiris mungkin benar bahwa tidak seorang pun bisa berada sendirian seperti pulau, tetapi di atas tataran itu, keanekaragaman akhirnya mengabur dan tinggallah Yang Satu. Maka dalam tataran empiris dari perbedaan-perbedaan, hubungan-hubungan tetap ada, tetapi ada tanpa masalah, oleh karena bahkan dalam tataran ini kita menyadari adanya ikatan intrinsik di antara semua yang ada. Sekalipun terselubung, ada Kesatuan yang non-empiris, non-relatif, pada setiap tataran yang kita ketahui.
Anak laki-laki saya yang sulung berkeberatan terhadap pengertian bahwa di balik topeng individual yang berbeda-beda kita semua adalah sama. Menurut pengertiannya, setiap individu adalah unik sekalipun memiliki kesatuan dengan Tuhan. Saya bisa memahami penolakan terhadap ide tentang kesamaan ini; pengertian itu memberikan perasaan seolah-olah Tuhan itu membosankan, statis, tanpa variasi dan bahwa perbedaan-perbedaan individual kita tidak berarti apa-apa. Tetapi ketika mengatakan bahwa di atas keterbatasan-keterbatasan wujud empiris semua benda/wujud pada dasarnya sama, saya mengacu kepada Tuhan, yang sama di dalam seluruh wujud-wujud empiris. Mengatakan bahwa semua wujud berasal dari tanah liat yang sama tidaklah mengurangi keanekaragaman wujud atau hakikatnya yang unik; sebaliknya, kesamaan dan perbedaan, yang satu dan yang banyak, itu sendiri adalah keunikan dan esensi dari Tuhan beserta semua yang ada.
Ini saja menunjukkan kepada kita, bahwa diri tidak mungkin menjelaskan kepada kita individualitas atau keunikan kita. Kita cukup memandang alam untuk melihat bahwa pepohonan, awan, binatang tidak mempunyai diri, namun mereka adalah esensi dari keunikan, keanekaragaman, dan pemberbedaan (diferensiasi). Diri tidak membentuk individualitas sejati oleh karena keunikan yang esensial ini tetap ada ketika diri lenyap.
Inti yang mendasari sistem afektif itulah yang menimbulkan perasaan halus, “diriku, hidupku, individualitasku” dan seterusnya; tetapi tanpa diri tidak ada perasaan milik diri atau identitas yang keliru seperti itu. Sekali kita melihat apa yang Ada, kita menyadari bahwa apa yang berbeda adalah juga apa yang sama. Dan tentang kekhawatiran akan kehilangan keberbedaan (distinctiveness) dari wujud-wujud empiris, cukup diperlukan sekilas penglihatan saja akan apa yang ada di balik wujud ini untuk melihat bahwa suatu kehidupan yang jauh lebih unik, bergerak dan dinamis terletak hanya selangkah lagi. Sekilas saja kehidupan baru ini terlihat, maka eksistensi kita yang sekarang ini menjadi membosankan, statis, dan tidak cukup beraneka ragam dibandingkan dengan itu. Tetapi sekali kita melihat ini, kita siap untuk bergerak maju terus.Jadi, secara keseluruhan inilah yang saya pelajari tentang diri. Manusia perlu memiliki diri, oleh karena inilah cara manusiawinya untuk tahu dan merasa--mengalami. Tanpa itu, manusia yang seperti kita kenal ini tidak bisa eksis atau bertahan (survive). Jadi diri adalah mekanisme protektif terhadap kematian fisik dan keadaan tak-tahu, dan setidak-tidaknya untuk sementara, inilah maksud sesungguhnya dari diri. Kita tidak menciptakan kemanusiaan kita, sama seperti kita tidak menciptakan udara dan air. Kita bukan buatan diri kita. Kita tidak menciptakan kesadaran: mekanisme refleksif otonom dari batin, atau kekuatan sentral yang menggerakkannya. Kita tidak membuat bagi diri kita suatu kehendak bebas atau suatu sistem afektif. Hanya di atas dirilah tanggung jawab manusia atas apa SESUNGGUHNYA dirinya menjadi begitu kecil dan pilihan-pilihannya begitu terbatas, yang tidak lebih daripada berupaya agar tidak berbenturan dengan benda-benda lain. Ini disebabkan oleh karena tanpa diri, sistem sensorik jelas tetap ada--dan siapa bisa membayangkan pengetahuan apa yang dimilikinya? Maka di luar pilihan dan upaya kita, semua digerakkan oleh suatu kecerdasan yang tak dapat dikenal, bergerak ke satu arah yang pasti dan berubah sementara bergerak, di mana tujuan langsungnya tidak lebih daripada gerakan itu sendiri. Demikianlah kita bergerak masuk dan keluar berbagai dimensi, cara-cara berbeda untuk tahu dan berada, selalu berubah, selalu bergerak, dan gerakan itu adalah sukacita kita, pencerahan kita dan kehidupan kita sendiri.
Di dalam perjalanan ini kita bertemu dengan banyak hal yang indah dan menakjubkan, tetapi sementara setiap langkah terbuka, kita melepaskan apa yang ada sekarang dan beranjak ke dalam apa yang baru tanpa melekat kepada apa yang berlalu. Di dalam upaya bergerak melawan arus, kita berpegang pada pencerahan-pencerahan, ide-ide dan pengalaman-pengalaman kita, dan mengira bahwa masing-masing darinya adalah yang terakhir, hanya untuk mendapati bahwa kita harus berjalan terus, tanpa membawa apa pun bersama kita, oleh karena apa yang penting pada satu saat menjadi cuma kebetulan pada saat lain, dan bahwa perubahan itulah yang menjadi gerak kehidupan.
Pada satu titik dalam perjalanan ini, tampillah diri, menyumbangkan apa yang dapat diberikannya, lalu pudar dan lenyap untuk selamanya tanpa teraih kembali. Jadi, diri adalah bagian dari gerakan ini, bagian yang harus dilalui oleh semua orang, dan satu-satunya aspek dari gerakan ini yang hanya manusialah yang bertanggung-jawab. Tetapi, sebagaimana segala sesuatu harus berubah, diri juga pada akhirnya akan runtuh dan larut ke dalam ketiadaan. Satu-satunya hal yang kita tahu tidak pernah berubah atau lenyap adalah gerakan itu sendiri.
Menurut hemat saya, seorang pemeditasi (kontemplatif) adalah orang yang sadar akan gerakan ini. Pada mulanya ia berupaya untuk berjalan bersamanya, tetapi belakangan, ketika mendapati bahwa ia digerakkan tanpa upaya, ia membiarkan dirinya terbawa menjadi bagian darinya--menjadi satu dengannya--sampai akhirnya ia menyadari bahwa ia tidak pernah lain daripada gerakan itu sendiri.


***

0 Comments:

Post a Comment

<< Home